Pemimpin sejati adalah mereka yang memerdekakan pikiran, emosi, dan spritual yang dipimpin dengan cara-cara yang memerdekakan untuk mencapai visi bersama

Senin, 07 Desember 2009

KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh : Mohammad Karim

  1. Urgensi dan Signifikansi

Pada era posmodern seperti sekarang ini, sudah tidak harus lagi menjadikan satu kultur bangsa tertentu untuk diutamakan dan dipertamakan sebagai rujukan untuk diikuti atau ditiru, misalnya dalam konsep kepemimpinan baik dalam sosial, politik, pendidikan dan sebagainya. Era posmodern telah memunculkan pengakuan pada adanya multirasionalitas karena semangat multikulturalisme. Setiap klaim rasionalitas perlu dibarengi kecurigaan, termasuk kepada rasionalitas-rasionalitas dari kultur-kultur besar dan kuat (baca: nalar Eropa) yang selama ini cenderung mengklaim diri sebagai “universal”[1] dan mengindoktrinasikan diri kepada kaum pinggiran (bangsa diluar Eropa).

Di saat epistemologi pengetahuan penduduk dunia sudah memasuki era posmodernisme seperti terurai diatas yang bercirikan anti esensialisme, apresiatif terhadap multikulturalisme yang kemudian dibarengi dengan munculnya kesadaran bangsa diluar Eropa atas proses hegemoni maka dunia Islam sendiripun juga turut ambil bagian untuk menuliskan sendiri epistemologi pengetahuannya, ditengah banyak kritik terhadap nalar kultur-kultur besar semisal Eropa , bahkan dituntut untuk kemudian memperbanyak memunculkan tawaran-tawaran nalar alternatif dalam membangun dunia.

Tanpa maksud menjadikan agama Islam ini sebagai alternatif, tetapi hanya ikut andil memberikan alternatif-alternatif dalam bidang konsep pengetahuan baru, maka dunia Islam sebagai bagian bangsa dunia yang berada diluar Eropa haruslah bangkit dari keterpurukan dan mampu menuliskan sendiri epistemologi pengetahuannya. Salah satu dari usaha tersebut adalah tulisan ini yang bertujuan membangun paradigma kepemimpinan transformatif dari al-Qur’an (sumber ilmu pengetahuan yang verbal) dengan identifikasi ayat terkait, ekplorasi prinsip, sifat, perilaku, model dan kultur organisasi kepemimpinan trasformatif sehingga dapat ditemukan paradigmanya.

Oleh karena tanpa maksud menjadikan agama Islam sebagai alternatif, maka jika kemudian hari temuan tulisan ini dapat diruntuhkan maka cara penafsiran tulisan inilah yang kemudian perlu direvisi bukan al-Qur’annya atau Islamnya seperti halnya revisi- revisi yang banyak terjadi pada cara- cara memahami terhadap alam semesta dan gejalanya (sumber ilmu pengetahuan yang non verbal) setelah ada kritik terhadapnya. Karena sesungguhnya disaat teori yang tersedia sudah tidak lagi memadai untuk menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bersama seperti yang terjadi akhir-akhir ini (disparitas kemiskinan, pemanasan global, krisis pangan dan energi, penguasaan dan ketertindasan) maka kritik terhadap teori tersebut kemudian menawarkan tawaran teori baru merupakan hal yang sangat signifikan bahkan urgen.

Kritisisme terhadap paradigma ilmu pengetahuan diilhami oleh Thomas Samuel Khun yang dalam bukunya berjudul The Structure of Scientific Revolution menyatakan bahwa pergeseran dan pergantian pardigma ilmu pengetahuan merupakan hal biasa dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan. Pergeseran dan pergantian paradigma itu terjadi akibat paradigma yang ada tidak lagi mampu merespon perkembangan kehidupan umat manusia.[2] Dalam bidang kepemimpinan ketidakmampuan paradigma kepemimpinan dalam merespon perkembangan peradaban umat manusia merupakan hal yang nyata terutama bagi para ahli dan praktisi organisasi pendidikan.[3]

Pemilihan kepemimpinan sebagai fokus dalam tulisan ini karena dalam perjalanan sejarah perdaban dunia faktor kepemimpinan telah terbukti menjadi faktor dominan dalam membuat perubahan baik itu perubahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Hal ini bisa dilihat dari Muhammad bin Abdullah sebagai pemimpin yang berhasil dalam merevolusi kebudayaan Arab dan menjadi lebih baik, Adolf Hitler (tanpa menyamakan dengan keraifan pemimpin lainnya karena kekejamannya) telah mampu membuat benua Eropa menjadi tahan banting dalam berperang, atau mampu pencapai peradabannya saat ini dengan visi kepemimpinan yang berkesadaran ilmu pengetahuan dari para pemimpin Eropa lainnya.

Secara umum polarisasi tentang kepemimpinan dapat dikelompokkan kedalam empat bagian, pertama: tradisional, kedua: traksaksional, ketiga: transformasional, dan keempat spritual.

Pada zaman tradisional pemahaman orang-orang masih tidak menyadari adanya dan penting kepemimpinan walaupun pemimpin sudah ada tetapi adanya pemimpin karena proses alami dan natural, dalam artian tidak dibarengi dengan kesadaran akan memunculkannya sedemikian rupa, proses munculnya kepemimpinan ini biasanya melalui proses penaklukan dan penguasaan, maka siapa yang menang dan kuat akan menjadi penguasa dan pemimpin. Memasuki transaksional manusia sudah sedikit menyadari akan adanya dan pentingnya pemimpin dan kepemimpinan sehingga pada tahap ini seorang pemimpin agar kepemimpinannya berjalan efektif melakukan beberapa penawaran yang bersifat transaksi (kamu dan saya dapat apa) kepada bawahan atau rakyatnya. Pada era transformasional para subyek organisasi sudah sangat menyadari bahwa organisasi, pemimpin dan kepemimpinan hanyalah alat untuk mewujudkan perubahan dan perbaikan di ruang sosial, maka isu yang kemudian dilendingkan adalah bagaimana proses kepemimpina mampu memanej perubahan sosial yang baik dan benar. Pada era spritual perbincangan tentang mewujudkan perubahan masih menjadi poin dari diskusi tentang konsep kepemimpinan. Berawal dari pemahaman bahwa konsep kepemimpinan transformasional dalam membuat perubahan dan perbaikan diruang sosial ternyata membuat para subyek invidu organisasi masih tidak bebas bahkan dianggap cendrung terjerat. Jadi, meskipun mampu membuat perubahan diruang sosial konsep transormasional masih kurang memperhatikan transformasi invidu organisasi yang seharusnya mendapat perhatian dan perbaikan juga, konep ini dinilai cendrung terlalu berkonsentrasi pada transformasi di ruang luar individu organisasi, pada tahap inilah konsep kepemimpinan spiritual muncul. Agar konsep spritual tidak hanya terjebek pada kiat dan kerja praktis penerapan nulai-nilai spritual dalam organisasi maka pada konsep kepemimpinan transformatif (paradigma hijroh) yang dikaji dan dibangun dari elemen-elemen dasar al-Qur'an merupakan konsep yang berusaha saling mendialogkan antara transformasional leadership dengan spritual leadership. Tidak hanya berhenti di dalam proses mendialogkan tetapi akan dilanjutkan dengan proses kontruksi guna menemukan pandangan utuh (paradigma) dari sebuah konsep kepemimpinan.

  1. Perilaku kepemimpinan transformasinal berdasarkan istilah i al-Hijrah dan al-Jihad dan pemahaman terhadap ayat-ayat yang menceritakan nabi/rasul revolusioner.

Sebagaimana dikatakan diatas bahwa kepemimpinan transformasional menemukan pijakan epistemologisnya pada ayat yang menceritakan para nabi dan rasulullah yang revolusioner semisal cerita Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW dan beberapa ayat yang tertera lafadz al-Hijrah, dan al-Jihadu.

Kata al- Hijrah adalah lawan kata dari kata al-Washol (sampai-sambung), hajarahu mempunyai arti memutuskankanya. Secara umum para ulama’ mengemukakan makna hijrah secara istilah dengan berbagai defrinisi. Hal itu disebabkan karena banyaknya makna yang terkandung dalam kata hijrah itu sendiri. Oleh karena itu pandangan mereka terhadap hijrah pun berbeda-beda. Dengan menyimpulkan dari beberapa pandangan tokoh ahli filsafat, agama, tasawuf Ahzami Samiun berujar bahwa pendapat tentang hijrah dapat dipolakan menjadi empat kelompok:

Pendapat pertama, hijrah adalah perpindahan dari negeri kaum kafir atau kondisi peperangan (Daruul Kufri wal Harbi) ke negeri muslim (Darul Islam), dalam hal ini adalah Ibnu A’rabi, Ibnu Hajar, al-Asqalani dan Ibnu Taimiyah). Pendapat kedua: hijrah adalah perpindahan dari negeri orang dhalim, (Darul Dzulmi) ke negeri orang-orang adil (Darul Adli) dengan maksud menyelematkan agama. Pendapat ketiga: hijrah adalah meninggalkan negeri yang diperangi, ahli bidah, penuh dengan sesuatu yang haram, demi keselamatan jiwa, harta, menghindari penyakit dan sebagainya yang membahayakan. Pendapat keempat: hjrah adalah pergi untuk mendekatkan diri dengan kebiasaan-kebiasaan baik lebih memahami suatu masalah, meninggalkan dosa dan kesalahan, meninggalkan hal-hal yang menjauhkan diri dari kebenaran.[4]

Beberapa definisi tentang hijrah diatas meskipun berbeda ada beberapa hal yang sama. Pertama: adanya perpindahan itu sama-sama bertujuan untuk menciptakan hal yang lebih baik. Kedua: terwujudnya hal yang lebih baik sama-sama akan dilalui dengan cara mengubah dan memindahkan segala sesuatunya agar terjadi perbaikan dan perubahan (transformation and change). Adapun hal yang paling substansial adalah adanya transformasi kehidupan yang harus dilakukan oleh para muhajirin. Berikut ini beberapa pandangan ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang hijrah:

Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya Aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. 29:26)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. 02:218)

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim[5]. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (Q.S. 9: 19-20)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi[6]. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. (Q.S. 08:72)

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia. (Q.S. 08:74)

Pada beberapa ayat diatas akan terlihat adanya transformasi diri yang begitu kuat terjadi. Transformasi diri merupakan perilaku paling mendasar dan awal jika seseorang ingin menjadi pemimpin transformasional. Setelah ia mampu menciptakan transformasi diri ia juga harus mampu membuat orang lain mentransformasikan dirinya kepada kebaikan yang lebih tinggi, sehingga kehidupan bersama pun mengarah kepada kesejahteraan bersama.

Secara harfiah hijrah berarti berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, secara tidak langsung hijrah berarti mengorbankan atau meninggalkan rumah dan kampung halaman seseorang, keluarga, tanah dan bangsanya serta seluruh harta benda dan benda-benda bergerak lainnya yang didambakan manusia demi tujuan tertentu.

Pada taraf ini, hijrah menuntun dan menuntut terciptanya transformasi diri, perubahan dan perbaikan (tranaformation and change) dengan memindahkan, membuang jauh segala hal yang mengahalangi perubahan dan perbaikan dan segala sesuatu yang tidak baik, tidak benar agar perubahan besar dapat terwujud dan ujungnya adalah kesejahteraan bersama bukan kelompok tertentu saja. Dalam bukunya “Wahyu dan revolusi” Ziaul Haque mengatakan:

Hijrah adalah suatu transformasi untuk mencapai tujuan yang luhur, titik kulminasi, atau puncak jihad ketika orang-orang yang berjuang untuk mencapai sebuah tatanan baru yang berdasarkan kebenaran dan kesetaraan antara manusia menolak tatanan lama yang berdasarkan pada diskriminasi dan korupsi guna mempercepat tercapainya tujuan perjuangan mereka melawan kekuatan-kekuatan kejahatan tatanan yang sudan usang tersebut.[7]

Dalam kontek organisasi titik hijrah berada diluar batas-batas dan garis-garis tatanan lama yang tidak baik, kemudian berusaha mewujudkan tatanan yang baru lebih baik, hijrah tidak hanya berada pada tataran hardware organisasi berupa gedung dan fasilitas fisik lainnya melainkan juga dalam tataran-tataran software organisasi berupa hubungan antara pemimpin dengan karyawan, pemimpin dan karyawan dengan organisasi dan seterusnya. Transformasi itu mendambakan kebaikan hubungan sosial, ekonomi, psikologis, kultural, intelektual, perhatian individu, saling motivasi, saling inspirasi dan sebagainya, hal ini memaklumatkan matinya dunia yang statusquo, stagnan, diskriminatif dan intimidatif satu dengan lainnya, terpecah-pecah, kurang motivasi, korup, dan memproklamirkan lahirnya sebuah dunia baru yang penuh semangat perubahan dan perbaikan. Ziaul Haque melanjutkan:

Hijrah adalah perpindahan dari imoralitas kepada moralitas, dari kepalsuaan kepada kebenaran dan dari kegelapan kepada terang-benderang. Dengan demikian seorang muhajir adalah orang yang setia kepada kebenaran. Dia adalah orang yang berprinsip dan revolusioner. Dia tegas dan berani serta tidak mengenal kompromi dengan kejahatan dan tidak mengendorkan usaha-usahanya. Ia sangat mencintai revolusi dan hanya untuk alasan inilah dia memberontak terhadap korupsi dan penindasan oelh tatanan sosial yang lama.[8]

Pemimpin yang berparadigma dan berperilaku hijrah (kepemimpinan transformasional) akan membaktikan dirinya hanya semata-mata untuk jalan kebenaran, keadilan, , kemerdekaan, kasih sayang, persaudaraan, memenangkan hati dan pikiran karyawan, perhatian individu karyawan, motivasi karyawan, pembelajaran karyawan, dan demi perubahan dan perbaikan bersama. Hijrah bagaikan garis pemisah antara hidup dan mati, antara ketidak bebasan dan kemerdekaan, antara diskriminasi dan keadilan, antara statusquo dan perubahan. Al-Qur’an bekata kepada mereka para pemimpin berparadigma hijrah/revolusioner/pemimpin transformasional:

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA". dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.S.9: 23-24)

Pemimpin transformasional (hijrah) yang mempunyai kepercayaan tinggi kepada nilai-nilai besar, agung, mulya dan luhur kemudian memperjuangkannya bahkan menularkannya kepada seluruh karyawan organisasi harus siap mentransformasi diri untuk keluar dari jeratan materi duniawai seperti jabatan, harta benda, keluarga untuk kemudian komimen untuk mewujudkan tujuan mulya sebagaimana yang telah di-visi-kan.

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari padanya, keridhaan dan surga, mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (Q.S. 9: 20-22)

Menurut ayat ini para nabi sebagai pemimpin transformasional dan pengikutnya mencintai tujuan mereka diatas segala-galanya, mereka memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Dari sinilah perilaku komitmen yang tinggi terhadap sasaran organisasi atau cita-cita agung yang telah dirumuskan bersama tampak terlihat.

Perilaku mencintai tujuan organisasi dan gerakan yang dijalani diatas segalanya sebagaimana para rasul Allah mampu mentransformasikan kepentingan-kepentingan invidu kaum muslim waktu itu. Individu yang terjerat dengan materi-materi telah dibebaskan, mereka pun melakukan jihad meskipun nyawa menjadi taruhannya, bahkan mereka mencari dan ingin mati dalam keadaan syahid. Bagi mereka harta, kedudukan tidaklah begitu penting, jangankan harta dan kesenangan nyawa pun siap mereka korbankan.

Tetapi, pemimpin yang tidak transformasional, orang-orang yang senang dengan statusquo akan menolak pesan kasih sayang dan transformasi ini. Gambaran orang-orang yang tidak senang dengan perubahan dan senang dengan statusquo seperti orang-orang yang tidak beriman yang berkata kepada rasul-rasulnya:

Orang-orang kafir Berkata kepada rasul-rasul mereka: "Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami". Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: "Kami pasti akan membinasakan orang- orang yang zalim itu. Dan kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku. (Q.S. 14: 13-14)

Kelompok yang pro statusquo akan mengancam atau berkomplot untuk menyingkirkan dan memotong karir orang-orang yang pro perubahan dan perbaikan, memperjuangkan kebenaran, keadilan dan kemerdekaan, mereka yang pro perubahan mungkin akan dikeluarkan dan meninggalkan organisasi, atau minimal mereka akan dikucilkan dari organisasi. Al-Qur’an menggambarkan hal ini dengan gaya yang indah:

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri[9], (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, Mudah-mudahan Allah memaafkannya. dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S. 4:97-99).

Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa jika kelompok yang berperilaku transformasional ikut larut dalam perilaku kontra perubahan, maka perubahan dan perbaikan yang mereka andaikan akan mengalami kegagalan . Jika mereka konsisten, tekun, istiqomah dengan perilaku transformasionalnya lalu mengorganisir dan mengintegratifkan perjuangannya yang terhormat untuk melawan kekuatan-kekuatan kontra perubahan itu baik yang berasal dari diri sendiri atau orang lain, mereka akan diberi ganjaran kemenangan-kemenangan di luar harapan-harapan mereka karena kekuatan Allah SWT, kekuatan-kekuatan alam, historis dan moral akan berpihak kepada mereka.

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. 4: 100)

Fakta empiris yang merupakan hukum sosial yang pernah terjadi dan hal ini bisa menjadi pijakan epistemologis kepemimpinan transformasional adalah cerita perjuangan para rasul/nabi revolusioner. Rasul-raul itu dengan perilaku transformasional/hijrahnya telah terbukti secara empiris berhasil menciptakan perubahan dan perbaikan (transformation and change). Dalam kontek transformasi atau revolusi seperti ini, Ziaul Haque menuliskan:

... al-Qur’an menjelaskan bahwa hampir semua nabi harus meninggalkan rumah-rumah mereka, keluarga dan umatnya dan berpindah ke daerah-daerah lain demi kebenaran. Inilah sunnatullah yang tidak dapat dirubah. Nabi Ibrahim harus meninggalkan negerinya Khaldea di Mesopotania dan pindah ke Syiria dan Palestina. Nabi Musa meninggalkan Mesir dan menuju semenanjung Sinai dan nabi Muhammad SAW meninggalkan Makkah dan pindah ke Yasrib bersama para pengikutnya pada tahun 622 M ketika oligarki Makkah yang berkuasa, yang terdiri dari pedagang, lintah darat, para kepala suku, kaum bangsawan, par pemilik budak dan para agamawan berkomplot untuk menghancurkan beliau.[10]

Perbindahan ini dilakukan demi membela kebenaran, mewujudkan keadilan, kemerdekaan, kebebasan, harkat dan martabat manusia. Hal ini dilakukan jelas-jelas untuk menentang kelompok-kelompok pro satusquo apalagi dalam hal kekuasaan. Dalam konteks organisasi perpindahan itu tentu harus diterjemahkan sebagai transformasi diri dari hal yang menjerat perubahan dan konsisten dengan sikap transformasionalnya. Mereka harus konsisten memperjuangkan perubahan dan perbaikan organisasi, mereka tidak boleh larut atau kalah dalam memperjuangkan cita-cita besar yaitu perubahan dan perbaikan organisasi itu sendiri.

Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. dan berkatalah Ibrahim: "Sesungguhnya Aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. 29-26)

Dan (Ingatlah) ketika Luth Berkata pepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu". Apakah Sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun[11] dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain Hanya mengatakan: "Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar". (Q.S. 29: 28-29)

Jawab kaumnya tidak lain Hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri." (Q.S. 29: 7-82)

Para pemimpin transformasional dengan segala perilakunya tentu akan mendapatkan hambatan dari yang kontra transformasional. Gambaran itu sebagaimana para nabi revolusioner menghadapi situasi-situasi yang hampir sama ketika para penguasa yang kaya dan arogan dari kaum-kaum penindas memperingatkan mereka, mereka dipaksa berkompromi dengan cara- cara jahat para pemimpin itu atau mereka di usir dari kalangan kaumnya:

Pemuka-pemuka dan kaum Syu'aib yang menyombongkan dan berkata: "Sesungguhnya kami akan mengusir kamu Hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami". Berkata Syu'aib: "Dan apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?" (Q.S. 7:88)

Hal ini menunjukkan bahwa memimpin organisasi dengan model transformasional berarti tidak hanya mengorbankan pikiran, tenaga dan waktu, melainkan juga mengorbankan semua kepentingan, jabatan, gaji, kehormatan status, kekuasaan, harga diri dan hak-hak istimewa lainnya Dengan demikian hijrah adalah transformasi diri pemimpin dari hal-hal yang tidak baik dan permulaan suatu persaudaraan yang penuh perhatian terhadap para pengikutnya, adil dan penuh cinta kasih- sebuah firdaus dalam kehidupan organisasi.

Ikatan-ikatan lama yang tidak baik, hubungan-hubungan konvensional berdasarkan KKN, kesukuan, ideologi, dan kepemilikan yang tidak dilandaskan pada kebenaran dan keadilan, kemerdekaan, prefesionalisme, kompetensi dan suka duka bersama, dipisahkan dan diputuskan.

Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang bicara kebenaran, rendah hati, berani dan menganggap orang lain sama dengan dirinya, dan bersatu dalam perjuangannya mengubah stagnasi menuju perubahan dengan pendekatan tidak mengekploitasi dan mengintimidasi satu sama lainnya tetapi dengan jalan memenangkan hati, pikiran dan emosi mereka.

Pemimpin transformasional dengan perilaku transformasionalnya yang berdasarkan perubahan dan perbaikan tidak dapat bertahan hidup di tengah-tengah kekuatan-kekuatan yang kontra perubahan yang masih menjadi model perilaku kepemimpinan yang mayoritas jika kelompok pemimpin transformasional itu sendiri tidak mempertahankan dan melindungi dirinya dan pengikutnya dari mereka yang kontra transformasi. Perilaku Hijrah dan jihad merupakan taktik dan strategi yang diperlukan untuk menjaga idealisme perubahan yang telah mereka yakini sejak mula. Al-Qur’an berkata:

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia Ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. 9: 38-39).

Ziaul Haque menuliskan bahwa pada mulanya ayat ini mengacu pada perang tabuk (9 H/ 631) dimana orang-orang Muslim di pimpin oleh Muhammad SAW sendiri. Tetapi signifikansi ayat ini bersifat umum. Kaum revolusioner yang berperang demi kebenaran, kesetaraan, dan keadilan harus tanggap terhadap panggilan tugas. Jika mereka ketinggalan, musuh akan mengambil kesempatan dan akan berusaha untuk menghancurkan revolusi dan tujuannya.[12]

Hal ini berarti menciptakan perubahan dan perbaikan di tubuh organisasi saja tidaklah cukup: transformasi haruslah dilindungi dan di pertahankan terus menerus. Ketika seruan untuk berperilaku transformasional yang didalamnya ada cita-cita besar, komitmen, tekun, semangat, inovatif, kreatif, semangat belajar, dan sebagainya di sampaikan sejumlah karyawan mungkin merasa tidak nyaman dan berat. Hati mereka terpaku pada benda-benda materi. Mereka ingin menikmati hasil pekerjaan seadanya berupa jabatan dan gaji sebegitu saja. Sebagian lainnya takut terhadap kesulitan-kesulitan perjuangan transformasional mewujudkan perubahan dan perbaikan, disinilah kiranya kemampaun dan keterampilan pemimpin transformasional memberikan inspirasional motivation dan intelektual stimulation, al-Qur’an menjelaskan:

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (Q.S. 9: 41)

Selain hijrah perilaku jihad juga menjadi strategi dan taktik untuk memperjuangkan dan melindungi terciptanya perubahan dan perbaikan organisasi. Secara harfiah, jahada berarti berjuang, berusaha keras dan berperang/melawan. Jihad adalah berusaha keras dan berjuang untuk alasan dan tujuan tertentu.

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya (Q.S. 4: 75-76)

Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar. (Q.S. 25: 52)

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. 29:69)

Para pemimpin yang berkeinginan kuat mewujudkan transformasi organisasi dengan tulus dan penuh dedikasi lebih tinggi kedudukannya di bandingkan dengan orang-orang yang melangengkan keberadaan organisasi dan hanya lip service terhadap nilai-nilai luhur, agung, besar dan kebenaran moralitas. Dalam perbedaan kedudukan dan balasan Allah terhadap mereka yang berjuang untuk mewujudkan perubahan dan perbaikan al-Qur’an memberikan ilustrasi sebagai berikut:

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim [13][633]. Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (Q.S. 9: 19-20)

Para pemimpin transformasional itu didesak untuk tidak menyerah untuk memotivasi, menginspirasi, memberi perhatian dan melatih para karyawan yang belum berperikau transformasional, pemimpin transformasional harus mampu memanagkan dan menyentuh hati, pikiran dan emosi mereka dan tidak boleh mendiskriminasi mereka secara berlebihan hingga melampaui batas. Tujuan perilaku pemimpin seperti itu adalah untuk menularkan dan mewujudkan perilaku transformasional agar dapat dipraktekkan oleh seluruh karyawan di seluruh elemen organisasi demi melapangkan jalan menuju sebuah perubahan dan perbaikan organisasi hari ini dan kedepanya nanti.

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan Bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka Telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah[14] itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka Bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Q.S. 2: 190-193)

Jihad untuk mewujudkan perikau transformasional karyawan sehingga tercipta perubahan dan perbaikan organisasi diperlukan untuk kesejahteraan bersama. Pergantian kepemimpinan harus mampu meneruskan perjuangan para pemimpin transformasional hingga tatanan organisasi yang berdasarkan visi dan misi besar dalam mewujudkan sistem kerja organisasi yang baik dan mewujudkan lulusan organisasi pendidikan yang sesuai dengan cita-cita agung yang telah ditetapkan dapat terus terwujud terlih dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi meskipun dengan merubah visi dan misi organisasi.

Prinsipnya tidak boleh ada kompromi apapun dengan perilaku yang kontra transformasional karena kehidupan organisasi bagaikan sistem, jika salah satu departemen atau bagian dari sistem tersebut tidak berperilaku transformasional maka akan mengganggu, mengurangi bahkan menggagalkan terwujudkan perubahan dan perbaikan. Karena perilaku kontra transormasional bertentangan dengan perilaku transformasional maka fitnah terhadap pemimpin transformasional ini lebih buruk dari pada pembunuhan: fitnah adalah perbudakan dan perbudakan bukanlah kehidupan dan bukan pula kematian. Disinilah pentingkanya perilaku jihad, karena tanpa jihad untuk kebenaran dan keadilan tidak ada perubahan dan perbaikan organisasi yang bisa dibela, dipertahanakan, dan dilindungi. Jadi diperlukan jihad terus-menerus melawan perilaku yang kontra transformasional.

Dalam hal ini konsep jihad adalah perjuangan hidup para pemimpin transformasional untuk mewujudkan perilaku para karyawan untuk berperikau trasnformasional sebagaimana dirinya bahkan melebihinya tanpa mengenal lelah, penuh semangat dan niat suci. Dan Allah pasti menolong jalan kebenaran dan keadilan dan menghancurkan kekuatan-kekuatan kontra terhadap itu:

Sebenarya kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya). (Q.S. 21:18)

Dalam kepemimpinan transformasional semua pihak harus menjadi subjek yang merdeka. Semua pihak menjadi subyek tidaklah dalam pengertian bahwa setiap individu dalam sebuah organisasi pendidikan satu dengan yang lainnya saling ingin menguasai. Setiap individu haruslah menjadi merdeka dalam melaksanakan tugasnya masing-masing yang tentunya sudah diatur dalam sebuah kesepakatan yang dibuat dan disetujui bersama. Setiap kelompok kerja, team, departemen dalam organisasi tidaklah terjebak dalam stratifikasi dan strukturifikasi yang membedakan dalam pengakuan dan perlakuan, subjek-subjek dalam departemen itu diakui secara adil dan proporsional prestasinya bukan strukturnya.

Kualitas prestasi untuk membuat perubahan dengan kreatif haruslah menjadi ukuran, bukan karena struktur yang menjadi patokan. Subyek departemen cleanig service membuat prestasi kerja dalam cleaning service, begitupun subyek rekto/kepala sekolah membuat prestasi di kawasan kerjanya. Semua unsur tidak ada perlakuan yang membedakan-semua pihak berprestasi dalam kerja dibidang masing-masing. Semua subyek tidak berdiri sendiri tetapi saling bergandeng tangan untuk membuat prestasi dibidang masing-masing guna mencapai tujuan yang sudah diapahami dan disetujui bersama.

Dalam lembaga PAI kerja manajerial dan organisasional subyek-subyek pelaku organisasi haruslah menjadi merdeka, dia tidaklah boleh terjebak hanya kepada aktivitas kerja praktis dan pragmatis semata, dia juga tidak boleh menjadi budak sistem. Subyek menjadi pemimpin dan pengendali atas dirinya sendiri secara pribadi sistem manajerial dan organisasional. Seperti itulah kiranya pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa revolusi kebudayaan dan peradaban oleh Ibrahim, Musa, Isa dan oleh Muhammad bin Abdullah waktu itu.

Kemampuan subyek seorang nabi atau rasul-rasul Allah telah menjadi misal konkrit bahwa subyek yang tidak terjebak dalam perbudakan bersifat duniawi telah membuat prestasi perubahan yang revolusioner dan transformasional dan tentunya baik. Prestasi itu tercipta karena berbanding lurus dengan usaha, kiat, kreativitas subyek seorang pemimpin umat dan sebagai rasul dari Allah SWT. Sang maha kuasa itu telah menciptakan hukumnya berbanding lurus dengan usaha manusia sendiri, disamping masih bisa berharap terhadap kemampuan besar Allah SWT.[15]

Fakta empiris telah membuktikan bahwa para Nabi/Raul Allah sebagai pemimpin transformasional bagi masing-masing umatnya. Mereka mampu menciptakan perubahan dan perbaikan dengan perjuangan keras (hijrah dan jihad) menyeru kepada kebenaran dan keadilan dengan menyentuh hati, pikiran, kepercayaan, asumsi lama dari kaumnya. Mereka menggambarkan cita dan asa agung dan luhur kedepan atau setelah kehidupan didunia ini, mereka mengajak kaumnya untuk mampu melampaui dan melewati batas-batas kehidupan hari ini yang sempit dan cendrung mengekang, mereka diajak untuk bertransformasi diri kemudian mengajak lingkungannya.

Adam adalah nabi pertama yang berjuang menentang kebodohan dengan banyak belajar nama-nama makhluk sekitarnya dan menentang kedzaliman seperti yang dilakukan anaknya sendiri. Nuh adalah nabi yang memimpin, membimbing, memperlakukan secara adil kaum miskin pada awktu di pinggirkan oleh kelompok orang kaya waktu itu. Hud masnusia dan pemimpin yang jujur, tulus dan menyeru tentang kebenaran dan keadilan, menentang orang-orang arogan kaum A’d. Saleh berjuang menuju keadilan bagi semua, dia berjuang melawan sembilan suku kaum Samud yang arogan. Ibrahim adalah rasul yang menyatakan kebenaran dan keadilan dan menentang namrud yang arogan. Yusuf adalah tabah dan dalam kekurangan, sabar dalam intimidasi keluarga dan keluarga kerajaan Fir’aun Mesir. Syuaib yang berjuang menentang ketidak adilan ekonomi bagi kaum Madyan. Musa rasul yang membebaskan kaum budak Bani Israel dari cengkramen kelompok Fira’un. Isa pemimpin kaum lemah. Muhammad rasul pemimpin umat yang revolusioner dan transformasional terakhir.

Ibrahim Alaihissalam

Setelah ia menerima panggilan kenabian dan sesudah inspirasi Ilahiyahnya diterpakan pada faktor riil dan sebab-sebab kemunduran moral dan sosial ekonomi umatnya dia mengekplorasi apa yang ada di belakang fenomena fisik-sosial itu. Dia menemukan sebab kebusukan sosial dan kematian moral umatnya. Baginya akar sebab dari korupsi, tirani, dan penindasan terhadap manusia, kelompok dan kelas-kelas lemah adalah rasa takut terhadap raja-tuhan dan para penindas yang berkuasa yang menanamkan kepalsuan dan kejahatan dalam pikiran dan hati masyarakat. Bersujud di hadapan manusia, berhala, hawa nafsu, ketamakan, keangkuhan, kepentingan diri sendiri... adalah jalan pasti menuju kehancuran.

Ibrahim dengan gamblang menyatakan kebenaran yang telah ditemukannya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia menolak raja-tuhan, para pemuka yang menindas, cara-cara hidup yang a moral, sistem sosial yang korup, lembaga yang tidak adil, kepercayaan yang keliru... Ibrahim dibujuk tetapi dia konsisten dalam kebenaran, semua orang meninggalkanya; ayah, keluarga dan kaumnya membiarkannya untuk dibunuh hanya istrinya Sarah dan keponakanya Luth yang memihaknya. Ibrahim terus mengajak mereka kepada pencerahan untuk menjadi jujur, berani dan hanya tunduk pada satu Tuhan.

Ibrahim dianggap pemberontak, dia ditangkap kemudian dihukum dan dibakar namun diselamatkan oleh dzat yang dia yakini yaitu Allah SWT. Walau demikian ia tetap konsisten dengan kebenaran itu. Setelah Ismail lahir dan melewati masa-masa paceklik yang panjang, Ibrahim berkelana (berhijrah) mencari padang rumput yang masih hijau di tengah-tengah kesulitan menghadapi masalah dengan raja-tuhan yang penindas itu. Suatu hari dia pun sampai di Makkah yang tandus dan disinilah kehidupan dengan anaknya dimulai. Dia mampu mentransformasikan dan mempersatukan suku-suku yang yang saling menindas di Makkah dalam kebenaran tauhid.

Sepanjang hidup dan perjungannya membela kebenaran, Ibrahim tetap tegar. Dia tidak pernah mengendorkan usaha-usahanya dan tidak pernah pula kehilangan nyali dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan cobaan. Dia adalah seorang penyantun yang toleran terhadap kekurangan-kekurangan orang lain. Dia adalah seorang berperikau transformasional. Kebenaran yang diyakini Ibrahim yang kemudian diajarkannya sepanjang hidupnya adalah bahwa kekuatan yang sesungguhnya adalah milik Allah, dialah sumber semua pengetahuan, kebijaksanaan, rezeki, kekuatan, kebaikan, dan kasih sayang. Ibrahim menjadi role model bagi nabi/pemimpin umat selanjutnya yang bersaha keras untuk membangun komunitas yang adil, penuh kebijaksanaan dan kesejahteraan bersama. Ketabahan, keimananannya kepada Allah AWT dan keyakinan dirinya akan terwujudnya kebersatuan dan kesejahteraan umat membuat kepribadian mulya. Dialah yang mempopulerkan aritmatika dan astrologi, seorang hakim, pemimpin, seorang bapak, cendiakiawan besar, nabi yang berilaku revolusioner dan transformasional yang mampu menciptakan perubahan dan perbaikan.[16]

Musa Alaihissalam

Musa merupakan anak dari wanita biasa di Mesir tetapi kemudian tumbuh besar di kerajaan Fira’un. Meskipun hidup dilingkungan seperti itu ia tetap konsisten dengan kebenaran dan keadilan. Musa dikejar-kejar oleh Fira’aun sehingga di harus pindah dari Mesir (hijrah) dan tinggal di semenanjung Sinai. Dia kemudian medapatkan pencerahan (wahyu) dan memutuskan untuk membebaskan rakyatnya dari perbudakan oleh bangsa mesir. Ia menentang Fira’un dan tatanan sosialnya yang korup, penuh penindasan dan perbudakan, ketidakadilan.

Walaupun Fira’un adalah manusia angkara dan kuat, Musa adalah pemimpin umat yang berani, yang selalu berkata dan bertindak benar dan menyerukan visi kebenarannya penuh keyakinan, kebijaksanaan, dan kejujuran; dan kebenaran memiliki kekuatan untuk menghilangkan dan menghancurkan kepalsuan dan kebodohan. Kebenaran dari kelompok kecil sederhana itu lambat laun menjadi lebih kuat.

Setelah mendapatkan kembali kekuatan, kepercayaan diri, dan kebijaksanaan mereka para budak yang dipimpinnya itu pun berdiri tegak di bawah kepemimpinan Musa yang pemberani, mendobrak belenggu yang mengikat mereka dan melepas beban perbudakan mental, sosial, ekonomi. Para budak itu menjadi hidup kembali dan merdeka. Selama mereka berpegang pad prinsip kebenaran, keadilan mereka akan tetap kuat dan sejahtera. Tetapi, bila mereka terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok yang saling menindas dan tidak konsisten maka nasib mereka sama dengan Fira’un.[17]

Isa Alaihissalam

Isa adalah seorang manusia yang rendah hati, pemimpin yang berperilaku transformasional, hamba Allah yang menempuh jalan lurus, seorang guru, pejuang yang pemberani. Dia berkelana (hijrah) dari tempat satu ke tempat lainnya di kota, desa, padang pasir, gunung bersama dengan kerumunan orang-orang miskin, menganjurkan kehidupan jujur dan penuh kebenaran serta rendah hati. Dia berdebat dengan para pemuka agama, berbantahan dengan para penguasa, menyapa para cendikiawan. Dia menceritakan parabel-parabel dalam bahasa rakyat jelata yang sederhana untuk menegur dan memperingatkan mereka mereka tentang cara-cara hidup yang korup dan a moral.

Isa menyerang kemunafikan orang-orang Farisi yang mengikuti ritual-ritual yang tampak dari luar seperti “hukum suci” tetapi terlibat dalam ketidakadilan dan kejahatan. Ia tidak mengikuti hukum itu, Ia lebih peduli untuk memperbaiki kondisi-kondisi orang-orang lemah. Dia memberi makan, melayani dan hidup bersama mereka.

Isa menggerakkan dan membangkitkan rakyatnya untuk menentang para penindas tetapi tidak mau mempersenjati dirinya dan pengikutnya. Ia membuat mereka lebih berani dan teguh dan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik. Kaum lemah mengikutinya, mereka meninggalkan (hijrah) dari rumah, keluarga dan suku-suku mereka demi sebuah kehidupan baru yang penuh kebenaran dan keadilan. Orang-orang yang yang kontra perubahan pun mengejarnya untuk membunuhnya tetapi dia melarikan diri, walau sebagian mereka mempercayai bahwa dia telah di bunuh dan disalib.[18]

Muhammad SAW

… menjelang dewasa, Nabi menemukan situasi yang sangat kacau di Mekkah, asalah akumulasi dan pemusatan kekayaan, di satu sisi, masyarakat pedagang (yang berdasar pada sirkulasi produk, bukan pada produksinya), tergantung pada perluasan ekonomi uang, mengembangkan lembaga-lembaga pemilikan pribadi, memperbanyak keuntungan, menumbuhkan disparitas ekonomi dan pemusatan kekayaan. Etika masyarakat perdagangan itu tentu saja bertabrakan dengan etika masyarakat kesukuan……Karena cepatnya perkembangan operasi perdagangan, beberapa pedagang yang memiliki keahlian yang berasal dari berbagai klan dan suku, terus menerus memperbanyak kekayaan pribadinya. Bahkan mereka membentuk korporasi bisnis antar-suku dan menerapkan monopoli pada kawasan bisnis tertentu di tempat asal mereka. Orang-orang lemah dan tersingkir dari persaingan bebas ini mencoba membentuk asosiasi yang mereka sebut Hilf al-Fudul (Liga Orang-orang Tulus). …..orang-orang miskin, lemah, terlantar dan tak terlindungi yang terjebak dalam proses sosial yang tak terelakkan itu merebak di pinggiran kota perdagangan Mekkah. Dalam struktur masyarakat kesukuan, hancurnya struktur masyarakat kesukuan di Mekkah bertanggungjawab terhadap terbukanya pintu ketegangan sosial. Sementara itu, monopoli perdagangan sedang muncul di Mekkah.

… adalah seorang yang berperilaku jujur, yang memperoleh gelar Al-Amin, tentulah sangat gelisah melihat situasi yang ada di hadapannya, dan mencari jalan keluarnya. Seorang yang sangat rendah hati tapi berhati dan berotak luar biasa cerdas, mulai mencari jalan keluar yang kemudian menuntunnya untuk menyendiri di gua Hira, di sebuah pegunungan berbatu di luar kota Mekkah. Muhammad, Nabi Islam itu, setelah melewati hari-hari meditasi dalam kesendiriannya di gua, akhirnya memperoleh cahaya wahyu Tuhan. Wahyu, secara essensial, berwatak religius, namun tetap menaruh perhatian pada situasi yang ada serta memiliki kesadaran sejarah. Ayat-ayat pertama Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi, sebagaimana nanti akan kita lihat, mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap situasi yang terjadi di Mekkah.[19]

Muhammad SAW menemukan kebenaran dan menyampaikan kenyataan dengan sebuah bahasa yang baru dan dalam kondisi yang baru pula. Masyarakat tempat beliau hidup dan bergerak, berfikir, dan bekerja berbeda dari masyarakat Musa dan Isa. Pemimpin transformasional ini mempersenjatai dirinya dan pengikutnya setelah berpindah dari benteng korupsi dan kejahatan. Seperti Ibrahim beliau menyerahkan seluruh hidupnya kepada dzat yang lebih besar. Ia menepati prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, teguh hati, berani, rendah diri, sederhana, jujur dan selalu berkata dan bertindak benar, penuh empati dan simpati, membantu dan hadir disaat sulit, memberikan cara pandang baru dan pencerahan menajalani hidup. Menjadi Uswatun Hasanah dengan karakter moral yang indah.

Mula-mula beliau membeaskan dirinya sendiri kemudian membebaskan masyarakat yang mati karena kematian moral seperti kematian fisik. Dia mengeluarkan para pengikutnya dari kegelapan kepada cahaya dan kesurga kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kejujuran. Untuk mewujudkan nilai dan cita luhur itu bliau meninggalkan tempat inggalnya Makkah menuju Madinah (Hijrah) meninggalkan relasi, suku, harta benda, jabatan, pekerjaan demi kehidupan yang lebih baik bagi semua dunia dan akhirat.

Berserah diri kepada Allah dalam perilaku transformasional dalam pengertian bahwa menyerahkankehendakanya kepada kehendak Allah. Allah mengambil kehendak, jiwa, hati, kekuatan, bajat, pikiran, kekayaan, harta benda, dan segala sesuatu yang dimilkinya. Dan sebagai balasannya Allah memberikan balasan yang lebih besar dan abadi. Dia memperjuangkan kebenaran dan keadilan hanya untuk Allah. Dia meninggalkan semua kemewahan dan kenikmatan dunia yang dimilkinya. Muhammad SAW mampu memenagkan hati, pikiran, emosi pengikutnya dengan baik dan benar. Ia mampu menularkan ide-ide besar nan agung dalam setiap benak para pengikutnya. Para pengikut awalnya rata-rata orang mampu mentrsformasikan dirinya, akhirat menjadi dambaan dan jihad telah menjadi jalan hidup yang dirindukan.

Misal tentang kepemimpinan seperti yang yang pernah dipraktekkan oleh para nabi dan rasul-rasul Allah seperti diatas adalah contoh kerja kepemimpinan bagi subjek-subjek organisasi yang sering terjebak kepada ketertindasan akibat jeratan strukturifikasi yang lebih bersifat stratifikatif. Hal demikian diharapkan terciptanya transformasi atau perubahan ruang gerak organisasi sendiri. Pertarungan antara mustadh'afin (segala hal yang dilemahkan oleh rasa ego semisal egaliter) dan mustakbirin (egoistik yang lebih bersifat kepentingan individu) itu akan terus berlangsung, hingga Allah yang Tauhid menyatukan subyek oraganisasi (tanpa perbedaan lagi antara mustadh'afin dan mustakbirin, bawahan dan atasan). Dari perspektif ini jelaslah bahwa Al-Qur'an menghadirkan suatu kepemimpinan yang transformasional dan membuat kepemimpinan yang sebelumnya mengabdi segelintir orang dan kepentingan sepihak menjadi kepemimpinan yang membebaskan dan memerdekakan semuanya.

Visi kepemimpinan trasformasional adalah revolusioner dan tak terbatas. Selain itu memberikan cetak biru atas transformasi setiap individu/personal, yang hasilnya adalah kesuksesan dan kemakmuran. Transformasi dalam organisasi akan terjadi baik pada level makro maupun mikro jika para subjek organisasi memulai transformasi diri, yaitu dari aku yang terikat pada struktur manusiawi yang materi kepada non materi. Mereka penuh semngat untuk secepatnya mencapai cit dan asa yang lebih besar.

Tindakan kepemimpinan harus memahami ketergantungan dan stagnasi itu sebagai titik lemah dan harus mencoba lewat refleksi, pemberian ilustrasi dan tindakan untuk merubahnya menjadi ketidaktergantungan dan stagnasi. Para pemimpin trnsformasional harus memahami bahwa keyakinan mereka sendiri akan kebutuhan untuk berjuang (sebuah dimensi penting dalam kebijakan transformasi) tidak diberikan kepada mereka oleh siapaun juga karena keyakinan itu sejati. Keyakinan itu tidak dapat dibungkus dan dijual namun dia diperoleh melalui realitas refleksi tindakan. Hanya keterlibatan pribadi para pemimpin dalam realitas dalam situasi aktual organisasi dapat membuat mereka kritis terhadap situasi dan berkehendak untuk mengubahnya.

Oleh karena itu seorang pemimpin yang transformasional harus menerapkan pendidikan kointensional. pemimpin dan yang dipimpin bersama-sama mengamati realitas yang berjalan di tubuh organisasi, keduanya adalah subjek tidak saja dalam tugas menyingkap realitas untuk mengetahuinya secara kritis tetapi juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan itu.[20]

Tugas transformasional mengandung pengertian bahwa para pemimpin yang trnsformasional bukan datang kepada rakyat untuk menyampaikan kepada mereka berita "keselamatan" tetapi dalam rangka mengetahui lewat dialog dengan mereka tentang situasi objektif serta kesadaran par karyawannya tentang situasi itu dan berbagai taraf pemahaman mereka terhadap diri sendiri dan dunia dimana dan dengan mana mereka mengada.

Kepemimpinan trnsformasional dan penerjemahan manajemen organisasinya tidak hanya sekedar apalagi terjebak pada saling pengaruh mempengaruhi, penuh rekayasa atau saling mengkondisikan satu dengan yang lainnya. Tetapi bagaimana kepemimpinan dan penerapan manajemen harus mampu menumbuhkan inspirasi, kometmen tinggi, konsistensi penuh, semangat dan pantang menyerah dari seluruh subjek yang terkait dalam kehidupan organisasi. Tidak membuat mereka merasa tertekan tetapi terpedayakan untuk menjadi subjek-subjek oraganisasi yang merdeka dan termotivasi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

Kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang mampu mendorong, mengarahkan, mengerahkan dan menumbuhkembangkan seluruh potensi dan kemampuan melebihi yang dimiliki oleh bawahannya hari ini. Menembus batas segala hal yang dianggap batas akhir oleh mainstream dari kemampuan kemanusiaaan dari kekuatannya. Tipe kepemimpinan seperti ini akan selalu menyediakan pikiran, jiwa, raga dan seluruhnya untuk melayani orang lain dan membuat mereka berubah dan mengalamai perbaikan baik sebagai subjek organisasi maupun tidak.

Kepemimpinan semacam ini menegaskan kerjasama sebagai suatau ciri dan tindakan dialogis yang berlangsung antara pelaku-pelaku (yang tentunya dari berbagai tingkat dan dengan begitu tanggung jawab), hanya dapat dicapai melalui komunikasi dialog sebagai komunikasi esensial harus mendasari setiap kerja sama. Dalam teori tindakan dialogis tidak ada tempat bagi penaklukan dan rekayasa untuk memperoleh dukungan atau simpati atas nama transformasi atau revolusi. Dialog tidak memaksakan, menjinakkan dan tidak memanipulasi tetapi memerdekakan dan menstransformasi diri mereka menjadi lebih baik dan benar. Tetapi, hal tersebut dilakukan dengan memenangkan hati, pikiran, emosi, spritualitas, intuisi para karyawan.

· Penulis buku dan staf wakil rektor bidang akademik UIN Maulana Malik Ibrahim Malang



[1] Klaim universal ini dalam epistemologi pengetahuan modern berbentuk pandangan mentotaliter, hegemoni, dominasi status quo kebenaran.

[2] Thomas Samuel Kuhn, The Struture of Scientific Revolution, (Chicago: Chicago University Press, 19970), hlm. 115.

[3] Bukti adanya krisis kepemimpinan dunia saat ini adalah saat penduduk dunia banyak berharap kepada adanya pemimpin dan kepemimpinan baru di Negara adidaya USA yang dapat memberikan elternatif-alternatif bagi krisis USA sendiri karena dunia juga dikenai dampak. Par pemimpin dunia dan organisasi internasional seakan menyambut baik terpilihnya Barack Husaen Obama karena dianggap akan membawa perubahan dibanding presiden AS sebelumnya.

[4] Ahzami Samiun Jazuli, Hijrah dalam Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: Gema Isani, 2006), hal. 17-20

[5] Ayat Ini diturunkan untuk membantah anggapan bahwa memberi minum para haji dan mengurus Masjidilharam lebih utama dari beriman kepada Allah serta berhijrah di jalan Allah.

[6] Yang dimaksud lindung melindungi ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.

[7] Ziaul Haque, terj. E. Setiawati al-Khattab, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 67

[8] Ziaul Haque, hal. 67

[9] Yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama nabi sedangkan mereka sanggup. mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.

[10] Ziaul Haque, hal. 67

[11] Sebahagian ahli tafsir mengartikan taqtha 'uunas 'sabil dengan melakukan perbuatan keji terhadap orang-orang yang dalam perjalanan Karena mereka sebagian besar melakukan homosexuil itu dengan tamu-tamu yang datang ke kampung mereka. ada lagi yang mengartikan dengan merusak jalan keturunan Karena mereka berbuat homosexuil itu.

[12] Ziaul Haque, terj. E. Setiawati al-Khattab, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hal. 67-72

[13] Ayat Ini diturunkan untuk membantah anggapan bahwa memberi minum para haji dan mengurus Masjidilharam lebih utama dari beriman kepada Allah serta berhijrah di jalan Allah.

[14] Fitnah (menimbulkan kekacauan), seperti mengusir sahabat dari kampung halamannya, merampas harta mereka dan menyakiti atau mengganggu kebebasan mereka beragama.

[15] Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Trasformatif, (Yogyakarta: Arruz Media, 2009), hal. 200

[16] Ziaul Haque, terj. E. Setiawati al-Khattab, Wahyu dan Revolusi, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hal. 149-166

[17] Ziaul Haque, hal. 185-194

[18] Ziaul Haque, hal. 195-212

[19] Ashghar Ali Enginering, Islam dan Pembebasan, terj. Hairus Salim dan Imam Baihaqy (Yogyakarta: LkiS, 2007), hal. 4-10

[20] Muhammad Karim, hal. 205