Pemimpin sejati adalah mereka yang memerdekakan pikiran, emosi, dan spritual yang dipimpin dengan cara-cara yang memerdekakan untuk mencapai visi bersama

Minggu, 20 Desember 2009

GENEALOGI KORUPSI DANA SEKOLAH

Oleh: Mohammad Karim

Michel Foucault, dalam Power/Knowledge (1986) menjelaskan mengenai konsep “Geneologi Institusional” (Institusional Geneologi- yaitu kerja pelacakan atau kerja arkeologi) adalah cara membongkar relasi konstruktif antara pengetahuan dan kekuasaan dalam aneka institusi sosial termasuk institusi pendidikan- untuk melihat bagaimana politik kekuasaan yang mempunyai otoritas tunggal menentukan kebijakan, penerapan dan pendanaan sitem pendidikan. Mereka tidak hanya mempunyai otoritas tunggal mengatur pendidikan, tetapi sekaligus juga menjadikannya sebagai pengayaan diri, dengan mengabaikan kepentingan publik (peserta didik dan oran tuanya) sebagai subyek pembangunan pendidikan- the subject of discourse.

Dalam politik pendidikan sentralistik dan totaliter itu, pendidikan kehilanagn dimensi “manusia” dan “sosial”-nya. Manusia sebagai subyek tidak pernah diberi kesempatan untuk memberikan “makna” pada pendidikan itu sebagai sebuah wacana, misalnya wacana pengetahuan dan kesadaran tentang pendidikan yang diproyekkan atau diperdagangkan beserta ancaman masa depannya. Pendidikan telah diproduksi “murni komoditas”dan diperdagangkan, sehingga berbagai problem manusia dan sosial yang ditimbulkan diabaikan.

Donela H. Meadow menyebutkan permasalahan seperti itu disebabkan politik pendidikan nasional tidak pernah dan benar-benar melibatkan masyarakat tetapi sebaliknya justru mereka dikondisikan menjadi konsumen dan pelaksana lapangan murni berbagai kebijakan pendidikan, maka ketiadaan partisipasi masyarakat pada akhirnya menimbulkan tidak adanya control sehingga muncul celah pencurian dan korupsi besar-besaran oleh oknum pejabat terkait termasuk melalui memperoyekkan kebijakan baru sistem pendidikan nasional, dimana kebijakan baru ini didatangkan atas nama pengetahuan, perbaikan, kemajuan dan sebagainya. Sehingga kebijakan yang sebenarnya menjadi ladang basah bagi oknum pejabat institusi untuk korupsi dan merugikan masyarakat khususnya mengorbankan masa depan generasi masa depan akan terlihat rasional, baik dan berkemajuan karena cara menghadirkannya sudah demikian caranya.

Naifnya, permasalahan pendidikan nasional diatas ditambah dengan tidak adanya kejelasan visi pendidikan nasional sendiri. Dan ironisnya dalam keadaan ketidakjelasan visi pendidikan nasional justru menjadi “hamba” dari politik pendidikan modern/ global yang sudah bercampur dengan dengan semangat materialisme, kapitalisme dan pasar yang mana pendidikan nasional didalamnya ketimbang menentukan wacana pendidikan modern/ global, justru menjadi obyek politik pendidikan itu. Dengan demikian korupsi yang bagaikan penyakit kronis yang menggrogoti pendidikan bangsa ini bukan karena hanya disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum saja di negeri ini.

Kembali lagi kepada ketidakjelasan visi pendidikan nasional, ini bisa dilihat dari kebijakan yang digulirkan pemerintah untuk menyehatkan pendidikan, akan tetapi terapinya belum bisa menyentuh akar permasalahan. Sebagai misal ketika soeharto berkuasa beragam kebijakan pendidikan digulirkan. Bahkan setiap menteri pendidikan dalam kabinet sang jendaral besar itu dipastikan membawa konsep baru yang tidak ada korelasinya dengan kebiajan sebelumnya. Muncul semacam tradisi pergantian pendidikan pasti memunculkan konsep baru,

Contohnya ketika Fuad Hasan menjadi menteri pendidikan digulirkan cara belajar siswa aktif. Ramai-ramai sekolah menerapakan konsep itu, semua pelaksana pendidikan di setiap level mengampanyekannya, sberbagai buku panduan di terbitakan . akan tetapi setelah Fuad Hasan diganti Wardiman Djojonegoro, CBSA tidak dipakai lagi sebagai gantinya konsep Link and Match. Dan hari ini dunia pendidikan disibukkan dengan pendidikan berbasis kompetensi.

Kerapnya pergantian kebijakan yang tidak berkesinambungan memperlihatkan tidak memilikinya bleu print mengenai pendidikan nasional. Sekaligus membuktikan sinyalemen Surachman bahwa indonesia belum memiliki pondasi pendidikan yang kuat dan benar. Jelas pula kerapnya pergantian konsep dan menteri gagal mnyelesaikan permasahan pendidikan nasional. Justru karena kebijakan menteri satu dengan lainnya tidak berkesinambungan, timbul masalah baru setidaknya sekolah yang harus meyesuaikan baik bahan ajar maupun metode mengajar sesuai dengam kebijakan menteri baru.

Dengan demikian selain lemahnya penegakan hukum, korupsi dana sekolah terjadi karena politik pendidikan nasional sudah menghamba bahkan telah menginternalisasi nilai-nilai pendidikan modern/ global yang bersemangat materialisme, kapitalisme yang berlogika pasar, ketidakjelasan visi pendidikan nasional, politik pendidikan nasional yang sentralistik sejak orde baru, kurang benar-benar di libatkannya publik dalam membincang, membentuk dan mewacanakan pendidikan nasional, gejala memperdagangkan sekolah melaui pergantian sistem pendidikan, dan tidak tepatnya terapi yang diberikan jika ada masalah.

Mencari Alternatif
Korupsi dana sekolah telah menciptakan sebuah situasi disorientasinya pendidikan nasional yaitu amburadulnya sitem pendidikan mulai dari tujuan, bahan/ materi, motode dan evaluasi pembelajaran dalam proses pendidikan peserta didik sebagai generasi mendatang sehingga menyebabkan pula diskontinuitas dalam proses pembangunan bangsa pada umumnya khususnya pembangunan bangsa ini kedepan.

Terganggunya pendidikan nasional akibat korupsi dana sekolah tidak hanya menimbulkan rusaknya pembangunan, tetapi sekaligus menimbulkan formasi wacana baru tentang sistem pendidikan nasional, misalnya wacana pengembangan aneka pendidikan alternatif seperti otonomisasi sekolah, pendidikan berbasis masyarakat lokal dan sebagainya. Sebenarnya apapun wacana pendidikan baru itu menuntut berbagai perubahan formasi wacana, baik pada tingakat relasi sosial, kekuasaan, institusi dan kejelasan semangat pengembangan pengetahuan pendidikan nasional melalui politik pendidikan baru.
Politik pendidikan baru akan menentukan kebijakan makro dan mikro tentang pendidikan di masa depan, apakah kebijakan bersifat sentralistik atau desentralisasi, elitis atau popular, berlogika pasar atau berbasis potensi dan hadap masalah anak didik?. Politik pendidikan masalalu yang korup, penuh tipuan, kepalsuan, dan sumulasi hendaknya dapat menjadi pelajaran dalam menyusun kembali pendidikan nasional yang didalamnya peserta didik dan orang tuanya tidak lagi menjadi obyek pasif tetapi menjadi subyek aktif dari aneka kebijakan baru pendidikan nasional.

PENDIDIKAN DAN KEMERDEKAAN BANGSA

Oleh:
Mohammad Karim


Posisi Sosial Kita
Setelah komunisme runtuh satu-satunya ideologi yang banyak memberikan pengaruh pada pembentukan sistem nilai yang banyak dianut oleh masyarakat dunia hari ini adalah ideologi Blok barat, Demokrasi Liberal seakan menjadi bentuk terakhir dari pemerintahan manusia hari ini.

Dengan tidak adanya ideologi tandingan bagi demokrasi Liberal maka sangat mudah bagi penganutnya untuk menyebarkan pengaruh keluar komunitasnya, ini terbukti disaat masyarakat dunia banyak memberikan apresiasi yang baik terhadap adanya modernisasi (developmentalisme), industrialisasi (investasi), dan globalisasi.

Ideologi ini dengan sagala anak turunnya yang datang kepada kita atas nama pengetahuan dan kemajuan dengan kepentingan praktis untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia tidak pelak lagi telah banyak menawarkan hal-hal yang bersifat instan, cepat, singkat nyaman dalam melayani hidup manusia sendiri.

Tawaran ini pun banyak mendapatkan respon karena sentuhannya sangat tidak menyadarkan subyek-subyek masyarakat meskipun menjebak, pembiusan kesadaran ini tidak kemudian merupakan side-efek yang sederhana tetapi hal ini muncul di karenakan sebuah rekayasa yang sengaja di buat melalui politik pencitraan dan pewacanaan untuk merubah selera masyarakat dari yang sebelumnya tidak tahu tentang modern, kapital dan global menjadi tahu, menyetujui dan meresponnya bahkan menginternalisasi nilai-nilainya.

Di saat epistema atau cara pandang selera masayarakat (sosial) ini telah kemudian menuruti logika modernis kapitalis global melalui politik pencitraan, mereka dan segala sikap yang mereka perbuat sadar atau tidak sadar terkondisikan oleh logika modernis kapitalis global tersebut.

Gejala hilangnya dimensi melawan (potensi yang muncul saat seseorang disakiti) rakyat negeri ini terhadap adanya ketidak adilan dan ketimpangan tidak dapat kita hindarkan di masa ini, lihatlah kasus naiknya harga BBM yang tidak bisa kita hindari meskipun hal itu sangat merugikan rakyat negeri ini dengan alasan harga minyak dunia naik dan kita tidak dapat melawannya, karena politik energi nasional telah menjadi hamba dari politik energi global dan lebih parahnya menjadi objek politik energi itu.

Kasus lain yang selalu menjadi bom waktu yang selalu meresahkan adalah adanya kemiskinan dan pengangguran, bangsa ini sudah kehilangan dimensi untuk bangkit dan memperbaikinya- sekali lagi karena konsep pembangunan ekonomi nasional (khususnya dalam pengentasan kemiskinan dan pengangguran) selalu menjadi objek dari regulasi politik ekonomi modern barat. misalnya melalui sisitem kortopokrasi dan lainnya.



Posisi Pendidikan Kita
Mengarahkan pendidikan hanya demi memenuhi tuntutan lapangan kerja, (manusia dipandang hanya dari dimensi kerja saja, sehingga hubungan dengan sesamanya hanya ditentukan oleh relasi ini) yang pada akhirnya menutup tumbuh kembangnya dimensi lain yang mereka miliki, merampas kebebasan memilih dan berimajinasi siswa karena harus mengkondisikan diri, tubuh dan pikirannya untuk disesuaikan dengan selera lapangan yang sudah diwarnai oleh selera modern - sehingga membuat sekolah tidak ada bedanya dengan pabrik robot yang memproduksi barang mati tanpa imajinasi.

Maka pada saat didirikan sekolah yang mempunyai kepentingan pragmatis sesaat bahkan bisa merampas keutuhan subyek dengan dimensi dan potensi kemanusiawiaan kita, yang sebenarnya logika muculnya sekolah tersebut sebagai barang impor dari bangsa lainnya langsung mendapatkan respon dan dengan animo masyarakat yang tinggi walaupun disisi lain sekolah pragmatis tersebut mempunyai kepentingan melanggengkan kelas sosial karena output dari sekolah teresebut hanya akan menjadi buruh /pesuruh mereka (Eropa/USA) sebagai tuan, pengendali dan penguasa dari arus modern dan globalisasi dunia.

Sebenarnya seorang filusuf Antonia Gramsci telah lama meramalkan bahwa dominasi sekolah profesional atau sekolah formatif akan menghasilkan krisis pendidikan. Ia tegas mengungkap tabir pelanggengan ketimpangan sosial ini. Pada masa ini, karena krisis mendalam produksi kultural dan konsep tentang hidup manusia kian terbukti fenomena degenerasi progresif.

Terbukti, sekolah professional yang bartujuan memenuhi kepentiagan praktis sesaat menang atas sekolah formatif yang tak memiliki kepentingan praktis langsung. Aspek paling paradoksial dalam situasi ini adalah jenis sekolah professional yang digembar gemborkan sebagai demokratis ternyata tak hanya melanggengkan ketidak adilan sosial namun lebih dari itu, mengkristalkanya dalam bentuk yang semakin solid.

Adanya sekolah di Indonesia yang sesuai dengan logika kenyamanan dan kebebasan semu yang di tawarkan sebagai barang impor bangsa Eropa/USA yang berada di masa transisi antara Informasi ke Pos-Informasi yang problem modal tidak begitu penting, ternyata tanpa tersadari mengakibatkan disorientasi pendidikan sehingga membuat resah masyarakat Indonesia yang masih berada dalam masa transisi antara masa Agraris ke Industrialis yang masih mempunyai problem modal sehingga sebagian rakyat Indonesia masih belum bisa menerima keadaan sekolah elitis seperti yang diatas.

Pertanyaannya adalah akankah bangsa ini akan menjadi bangsa yang merdeka disaat karakter sosial dan lembaga pendidikan bangsa ini telah terbius oleh hegemoni bangsa lain bahkan menghamba kepada mereka. Maka dengan momen kemerdekaan 63 bangsa ini harus bangkit,mandiri dan merdeka dengan membangun dan mengelola pendidikan yang mampunyai keperpihakan terhadap bangsa ini bukan berpihak kepada mereka bangsa luar.

SEKOLAH ASING DI SEKOLAH KITA

SEKOLAH ASING DI SEKOLAH KITA

Oleh:
Mohammad Karim



Meyerahkan pendidikan kepada mekanisme pasar sebagai penentu harga pendidikan (baca: BHP) dan memudahkan akan bolehnya sekolah asing berdiri di negeri ini (baca;liberalisasi pendidikan) akan menambah ketidak jelasan orientasi pendidikan kita. Apa yang tersisa di kemudian, karena semuanya sudah diserahkan ke mekanisme pasar sebagai penentu termasuk pendidikan.

Spirit Pengetahuan
Kolonialisme tidak sepenuhnya bercerita tentang luka, tetapi juga kearifan. Siapapun mengamini bila kolonialisme adalah penjarahan sumber- sumber kekayaan alam Negara jajahan, untuk menggelembungkan kekayaan Eropa. Tetapi jangan salah sangka, penjarahan tersebut hanya diperagakan Negara-negara Eropa dengan spirit pencerahan (Enlightenment), dan atas nama pengetahuan.

Dengan begini, kolonialisme menawarkan sejumlah kearifan Universal, yang ditawarkan untuk mengangkat masyarakat koloni kedalam situasi pencerahan akal budi. Kolonialisme dengan sendirinya perlu dipahami sebagai proyek pengetahuan dan pembentukan kesadaran.

Hanya dalam posisi inilah kolonialisme tetap relevan diperbincangkan meskipun praksis imperialisme sudah musnah dimuka bumi. Mengapa? Imperialisme tidak hanya meninggalkan kerusakan ekologi dan kemiskinan massal yang diderita oleh Negara- Negara bekas jajahan tetapi juga struktur kesadaran dan pengetahuan yang sangat Eropasentris.

Pendidikan dan kesadaran
Kesadaran yang kemudian menjadi pembentuk ilmu pengetahuan rakyat dari sebuah bangsa merupakan hasil kerja bersama antara berbagai unsur yaitu politik, ekonomi dan kultur. Tapi, pembentuk kondisi politik, ekonomi dan kultur itu adalah pendidikan itu sendiri.

Kaitan antara pendidikan dan kesadaran sangatlah erat bahkan tidak bisa dipisahkan, pendidikan berarti kesadaran bangsa itu sendiri. Mengukur kesadaran sebuah bangsa dapat dilihat dari seberapa jauh institusi/sekolah di negeri ini berada. Terlebih kurikulum yang harus dilalui oleh pelajar negeri ini.

Pendidikan melalui Institusinya memainkan peran yang sangat penting pada akhirnya, dalam merangsang, membentuk, mempola bahkan merekayasa kesadaran sebuah Negara. Politik kesadaran yang dimainkan pendidikan akan membentuk sebuah kekuatan yang akan terus hidup (bio power) kecuali politik kesadaran itu sendiri dihentikan.

Kesadaran dan pengatahuan
Pada waktu kesadaran sudah dapat direkayasa maka disinilah politik pengetahuan itu muncul dengan otomatis. Membangun masalalu, masa kini dan masa depan sangatlah tergantung pada pengetahuan yang dipunyai. Kesadaran yang didisiplinkan akan berakibat kepada pengetahuan yang terdisiplinkan juga.

Kesadaran yang melembaga dan terstrukturifikasi akan berdampak pada pengetahuan yang melambaga pula. Hal tersebut bisa dijelaskan dengan bukti bahwa kesadaran dan pengetahuan mayoritas rakyat negeri ini masih belum bisa beranjak dari demokrasi sebagai sistem politik, kapitalisme sebagai sistem ekonomi, kebebasan sebagai sistem invidu berbudaya.

Dunia seakan telah menuju sebuah kehidupan yang seragam karena sengaja diseragamkan, termasuk orientasi bernegara negeri ini kedepan. Kesadaran dan pengetahuan yang melembaga pada satu konsep tertentu membuat manusia kehilangan dimensi kreatifitasnya.

Pendidikan seharusnya
Pendidikan seharusnya tidak dijadikan atau menjadi komuditas yang diperjual belikan (liberalisasi pendidikan) oleh kebijakan pemerintah dengan alasan apapun termasuk peningkatan mutu karena terciptanya kompetisi. Pendidikan harus didesain dengan berdiri pada kepentingan kita sebagai sebah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Jika pembangunan ekonomi saja masih harus hati-hati dalam mendatangkan investasi asing, maka bolehnya dan mudahnya bangsa lain mendirikan institusi pendidikannya di negeri nusantara ini haruslah menjadi hal yang harus dipikir ulang dan ulang karena pendidikan bukan dagangan tetapi menyangkut masalah kesadaran dan pengetahuan sebuah bangsa.

Mengusai kesadaran akan menguasai pengetahuan, menguasai pengetahuan akan memiliki kekuatan, memilki kekuatan akan mudah mengadakan penguasaan dan penaklukan. Maka pendidikan seharusnya diselanggarakan dan dipergunakan untuk kepentingan rakyat negeri ini kecara keseluruhan.

Seharusnya penyelengaraan pendidikan tidak diserahkan kepasar sebagai penentu, peran ideologi negara harus mengatur juga. Privatisasi dan swastanisasi pendidikan seharusnya dan harus tidak boleh terjadi apalagi ada campur tangan asing dan dominasinya. Kita memang tidak boleh anti asing tetapi harus anti dominasi. Tetapi, apakah ada jaminan pada sekolah asing itu tidak ada dominasi karena mereka yang mempunyai modal.

Merancang pendidikan dengan keraifan lokal murni sudah tidak cukup lagi, karena pendidikan seperti itu memang sepintas memberikan solusi tetapi belum tentu dalam jangka panjang. Pembelajaran berbasis kearifan lokal harus dipayungi struktur pengetahuan yang kuat dan paling penting dibarengi ideologi keperpihakan.

Peranan pembelajaran berbasis kearifan lokal menjadi rapuh jika hanya disajikan dalam bentuk-bentuk pembelajaran kontektual yang hanya reflektif tidak kemudian dibarengi sebuah penyadaran akan keadaan hari ini yang timpang dan harus dirubah. Kerapuhan itu berakibat mudah silaunya peserta didik terhadap budaya asing jika mereka tahu suatu saat, oleh karena itu penyelenggaraan pembelajaran harus dibarengi ideologi pembelaan tidak hanya reflektif terhadap kearifan lokal.
Artinya, bahwa ilmu pengetahuan (Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi) yang dikembangkan dalam pendidikan kita jangan sampai sebagai barang impor yang menuruti logika bangsa lain, mengenyampingkan dan melupakan kebutuhan, kepentingan rakyat kita. Ilmu pengetahuan dan segala sesuatunya yang dikembangkan di lembaga pendidikan kita tetap dan harus mempunyai ideologi keperpihakan terhadap masyarakat kita dalam memberdayakan dan mengembangkannya, serta dalam memenuhi kebutuhan dan kemampuannya.

SEJARAH KEPEMIMPINAN

Oleh: Mohammad Karim


Kepemimpinan adalah satu dari sekian unit organisasi kehidupan yang terbukti mampu memberikan kontribusinya terhadap adanya perubahan dan perbaikan dalam sejarah sosial manusia. Dalam banyak kasus sejarah sosial manusia perubahan dan perbaikan selalu diinisiatori atau dipimmpin. Kepemimpinan itu sendiri telah mengalami banyak perubahan model dan tipe. Akhir-akhir ini, secara umum diskursus tentang kepemimpinan manusia dapat dikelompokkan menjadi empat bagian besar.

Pertama, kepemimpinan tradisional, adalah aktivitas kepemimpinan yang diniatkan untuk eksistensi kehidupan diri dengan menguasai yang lain, misalnya hanya untuk memperoleh makanan dan minuman untuk bertahan hidup. Kedua, kepemimpinan transaksional, adalah kepemimpinan yang diniatkan untuk mengambangkan interes lebih jauh dengan melakukan tansaksi-transaksi dengan yang lain untuk memenuhi keinginanan. Ketiga, kepemimpinan transformasional, adalah kepemimpinan yang fokus untuk mewujudkan visi organisasi dengan melakukan transformasi visi anggota organisasi. Keempat, kepemimpinan spritual, adalah kepemimpinan yang fokus pada potensi yang terberi (potensi Ilahiyyah dan Insaniyyah) dalam setiap anggota organisasi sebagai manusia, semua itu dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan bersama yang lebih luas yang tidak terbatas pada sekat-sekat organisasi yang prosedural.

Kepemimpinan tradisional fungsinya adalah untuk membesarkan diri dengan biaya orang lain melalui penaklukan dan penguasaan, etos kerjanya adalah menjadikan diri dan usahanya untuk memperoleh makanan, pendekatannya adalah kekuatan, penaklukan dan penguasaan, cara mempengaruhinya adalah dengan kekuatan, kekuasaan, perintah, uang, penaklukan, pendudukan fisik, menebar ketakutan dan ketaatan melalui kekuatan dan kekuasaan, target kepemimpinannya adalah membangun ketakutan dan ketaatan bawahan, dengan sasaran fisik dan materi.


Kepemimpinan transaksional fungsinya adalah untuk membesarkan diri dan kelompoknya atas biaya orang lain melalui kekuasaan, etos kerjanya adalah untuk mendedikasikan usahanya untuk memperoleh imbalan atau posisi yang lebih serta kekuasaan dan sistem, pendekatannya adalah kekuasaan, perintah, uang, sistem, mengembangkan interes dan transaksi, cara mempengaruhinya adalah dengan menaklukkan jiwa dan membangun kewibawaan melalui kekuasaan, targetnya adalah membangun jaringan kekuasaan dengan sasaran pikiran dan tindakan yang kasat mata.

Kepemimpinan spritual fungsinya untuk memberdayakan pengikut dengan kekuasaan, keahlian dan keteladanan, etos kerjanya adalah mendedikasikan usahanya untuk kehidupan bersama yang lebih baik, pendekatannya adalah kekuasaan, keahlian dan keteladanan serta kekuasaan referensi, cara mempengaruhinya adalah dengan memenangkan jiwa dan membangun karisma, targetnya adalah membangun kebersamaan, sedangkan sasarannya adalah pikiran dan hati nurani.

Kepemimpinan spritual fungsinya untuk memberdayakan dan mencerahkan iman dan hati nurani anggota organisasi melalui jihad dan hijrah, etos kerjanya untuk mendedikasikan usahanya kepada Allah dan sesama manusia (ibadah), pendekatanya adalah dengan hati nurani, keteladanan, serta mengilhami, membangkitkan, memberdayakan, memanusiakan, cara mempengaruhinya adalah dengan memenangkan jiwa dan membangkitkan iman, taregetnya adalah membangun kasih, menebar kebajikan dan penyalur rahmat Tuhan, sasarannya adalah spiritualitas dan hati nurani.

KEPEMIMPINAN SPRITUAL

Oleh: Mohammad Karim

Spiritual, spritualitas atau kata yang sepadan dengan itu mungkin akan mempunyai pengertian berbeda antar benak masing-masing orang. Spritualitas orang barat dengan orang timur, spritualitas muslim, kristiani, budhis dan seterusnya akan berbeda.
Dibenak mayoritas orang timur spritualitas akan sering dikaitkan dengan keberadaan Tuhan dengan seluruh kekuasaannya, misalnya keiklasan, kejujuran, positif thingking dan sebagainya, semua sikap batin itu akan selalu didasarkan dan diniatkan serta dilakukan hanya karena Tuhan sebagai pencipta, tidak karena manusia, materi, kedudukan dan lain-lain. Para ahli mengistilahkan sifat dan perilaku ini dengan “teosentris” dimana Tuhan menjadi awal dan akhir dalam melakukan beraktifitas.

Dalam benak mayoritas orang barat spritualitas akan sering diartikan sebagai sifat dan perilaku batin yang didasarkan pada dasar-dasar kemanusiaan dan keagungan-keagungan yang diinginkan manusia, misalnya menyayangi, menghormati atau kehormatan, membebaskan atau kebebasan dan sebagainya. Semua sikap tersebut diniatkan pada pengabdian untuk manusia dan lingkungan sekitar. Para ahli mengistilahkan sifat dan perilaku ini dengan “antroposentris” dimana manusia menjadi awal dan akhir dalam melakukan beraktifitas.

Masing-masing pandangan diatas memberikan argumentasi yang sama kuatnya. Pendapat pertama mengatakan bahwa Tuhan menjadi awal segalanya, prosesnya dan dan akhirnya. Semakin tinggi nilai teosentris pemahaman seseorang, maka nilai antroposentris akan mengiringinya secara otomatis. Orang harus selalu mendekatkan diri kepada Tuhannnya dimanapun ia beraktifitas.

Pendapat kedua mengatakan bahwa jika cara berfikir, berperilaku, seseorang semakin antroposentris maka ia akan semakin teosentris, karena pada masing-masing individu manusia ada nilai-nilai ketuhanan, jika seseorang banyak memberikan kebaikan terhadap sesama manusia maka ia akan semakin menambah nilai-nilai keTuhanan karena baik terhadap sesama adalah perintah Tuhan, terlebih manusia sendiri sebagai wakil Tuhan (khalifah) di bumi.

Dalam tulisan ini dua pandangan diatas seluruhnya akan kita anut dalam menuliskan tentang kepemimpinan spiritual. Maka dalam mendifiniskan kepemimpinan spiritual tidak dengan kerangka dikotomis antara pemahaman teosentris dan antroposentris, dua pemahaman itu akan dielaborasi sehingga akan terbangun sebuah pengertian, konsep, dan teori yang memahamkan kita semua.

Berangkat dari sini, kepemimpinan spiritual adalah kepemimpinan yang melibatkan nilai-nilai Ilahiyyah sebagai awal dan tujuan serta melibatkan nilai-nilai Insaniyyah sebagai proses pemerdekaan guna menuju visi bersama. Dalam kepemimpinan spiritual pemimpin tidak boleh mendasarkan dan menggantungkan segala aktifitas kepemimpinannya terhadap selain manusia, Tuhan haruslah menjadi muara dan akhir dari segalanya. Posisi nilai Insaniyyah yang dilibatkan dalam proses mencapai visi bersama haruslah dikawal dengan nilai-nilai Ilahiyyah.

Beberapa perilaku kepemimpinan spiritual adalah menyadarkan diri individu yang dipimpin tentang adanya kekuatan diluar diri berupa Tuhan, mengajak mereka kepada pencerahan berfikir, berperasaan, dan berperilaku, mengajak mereka dari nilai negativ ke nilai positif, dari alam syaitan ke alam malaikat dan seterusnya.

Para pemimpin spiritual memberikan pencerahan batin, ia berusaha memunculkan nilai-nilai Ilahiyyah yang sudah terberi (givend) dalam setiap individu manusia yang dipimpinnya. Pemimpin spiritual fokus untuk memunculkan potensi tersebut bahkan dengan menciptakan lingkungan yang memadai bagi tumbuh kembangnya potensi tersebut. Potensi Ilahiyyah tersebut dianggap sebagai inti dari kehidupan, maka dengan memelihara inti atau benih kehidupan itulah diharapkan lahir kebaikan dan kebenaran yang sejati.

Para pemimpin spiritual percaya bahwa dengan pemberdayaan individu melalui pencerahan iman, hati, akal pikiran, perasaan akan melahirkan suatu tindakan produktif dari individu tersebut. Disaat seseorang menjadikan Tuhan sebagai pengendali dominan dan terkuat atas dirinya maka akan muncul tindakan-tindakan yang mengarah kepada kebaikan, kebenaran, produktifitas, kreatifitas dan sebagainya.

Fungsi kepemimpinan spritual adalah untuk memberdayakan dan mencerahkan iman dan hati nurani pengikut melalui jihad dan untuk membesarkan manusia dengan membesarkan lembaga dengan keteladanan berkorban.

Etos kepemimpinan spiritual adalah mendedikasikan usahanya kepada Allah dan sesama manusia (ibadah). Pendekatannya adalah dengan hati nurani dan keteladanan
Cara mempengaruhi adalah dengan keteladanan, mengilhami, membangkitkan, memberdayakan, memanusiakan serta memenangkan jiwa, membangkitkan iman.

Sedangkan target dan sasarannya adalah membangun kasih, menebar kebajikan dan penyalur rahmat Tuhan dan untuk memberdayakan dan mencerahkan iman dan hati nurani pengikut melalui jihad.