Pemimpin sejati adalah mereka yang memerdekakan pikiran, emosi, dan spritual yang dipimpin dengan cara-cara yang memerdekakan untuk mencapai visi bersama

Minggu, 20 Desember 2009

GENEALOGI KORUPSI DANA SEKOLAH

Oleh: Mohammad Karim

Michel Foucault, dalam Power/Knowledge (1986) menjelaskan mengenai konsep “Geneologi Institusional” (Institusional Geneologi- yaitu kerja pelacakan atau kerja arkeologi) adalah cara membongkar relasi konstruktif antara pengetahuan dan kekuasaan dalam aneka institusi sosial termasuk institusi pendidikan- untuk melihat bagaimana politik kekuasaan yang mempunyai otoritas tunggal menentukan kebijakan, penerapan dan pendanaan sitem pendidikan. Mereka tidak hanya mempunyai otoritas tunggal mengatur pendidikan, tetapi sekaligus juga menjadikannya sebagai pengayaan diri, dengan mengabaikan kepentingan publik (peserta didik dan oran tuanya) sebagai subyek pembangunan pendidikan- the subject of discourse.

Dalam politik pendidikan sentralistik dan totaliter itu, pendidikan kehilanagn dimensi “manusia” dan “sosial”-nya. Manusia sebagai subyek tidak pernah diberi kesempatan untuk memberikan “makna” pada pendidikan itu sebagai sebuah wacana, misalnya wacana pengetahuan dan kesadaran tentang pendidikan yang diproyekkan atau diperdagangkan beserta ancaman masa depannya. Pendidikan telah diproduksi “murni komoditas”dan diperdagangkan, sehingga berbagai problem manusia dan sosial yang ditimbulkan diabaikan.

Donela H. Meadow menyebutkan permasalahan seperti itu disebabkan politik pendidikan nasional tidak pernah dan benar-benar melibatkan masyarakat tetapi sebaliknya justru mereka dikondisikan menjadi konsumen dan pelaksana lapangan murni berbagai kebijakan pendidikan, maka ketiadaan partisipasi masyarakat pada akhirnya menimbulkan tidak adanya control sehingga muncul celah pencurian dan korupsi besar-besaran oleh oknum pejabat terkait termasuk melalui memperoyekkan kebijakan baru sistem pendidikan nasional, dimana kebijakan baru ini didatangkan atas nama pengetahuan, perbaikan, kemajuan dan sebagainya. Sehingga kebijakan yang sebenarnya menjadi ladang basah bagi oknum pejabat institusi untuk korupsi dan merugikan masyarakat khususnya mengorbankan masa depan generasi masa depan akan terlihat rasional, baik dan berkemajuan karena cara menghadirkannya sudah demikian caranya.

Naifnya, permasalahan pendidikan nasional diatas ditambah dengan tidak adanya kejelasan visi pendidikan nasional sendiri. Dan ironisnya dalam keadaan ketidakjelasan visi pendidikan nasional justru menjadi “hamba” dari politik pendidikan modern/ global yang sudah bercampur dengan dengan semangat materialisme, kapitalisme dan pasar yang mana pendidikan nasional didalamnya ketimbang menentukan wacana pendidikan modern/ global, justru menjadi obyek politik pendidikan itu. Dengan demikian korupsi yang bagaikan penyakit kronis yang menggrogoti pendidikan bangsa ini bukan karena hanya disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum saja di negeri ini.

Kembali lagi kepada ketidakjelasan visi pendidikan nasional, ini bisa dilihat dari kebijakan yang digulirkan pemerintah untuk menyehatkan pendidikan, akan tetapi terapinya belum bisa menyentuh akar permasalahan. Sebagai misal ketika soeharto berkuasa beragam kebijakan pendidikan digulirkan. Bahkan setiap menteri pendidikan dalam kabinet sang jendaral besar itu dipastikan membawa konsep baru yang tidak ada korelasinya dengan kebiajan sebelumnya. Muncul semacam tradisi pergantian pendidikan pasti memunculkan konsep baru,

Contohnya ketika Fuad Hasan menjadi menteri pendidikan digulirkan cara belajar siswa aktif. Ramai-ramai sekolah menerapakan konsep itu, semua pelaksana pendidikan di setiap level mengampanyekannya, sberbagai buku panduan di terbitakan . akan tetapi setelah Fuad Hasan diganti Wardiman Djojonegoro, CBSA tidak dipakai lagi sebagai gantinya konsep Link and Match. Dan hari ini dunia pendidikan disibukkan dengan pendidikan berbasis kompetensi.

Kerapnya pergantian kebijakan yang tidak berkesinambungan memperlihatkan tidak memilikinya bleu print mengenai pendidikan nasional. Sekaligus membuktikan sinyalemen Surachman bahwa indonesia belum memiliki pondasi pendidikan yang kuat dan benar. Jelas pula kerapnya pergantian konsep dan menteri gagal mnyelesaikan permasahan pendidikan nasional. Justru karena kebijakan menteri satu dengan lainnya tidak berkesinambungan, timbul masalah baru setidaknya sekolah yang harus meyesuaikan baik bahan ajar maupun metode mengajar sesuai dengam kebijakan menteri baru.

Dengan demikian selain lemahnya penegakan hukum, korupsi dana sekolah terjadi karena politik pendidikan nasional sudah menghamba bahkan telah menginternalisasi nilai-nilai pendidikan modern/ global yang bersemangat materialisme, kapitalisme yang berlogika pasar, ketidakjelasan visi pendidikan nasional, politik pendidikan nasional yang sentralistik sejak orde baru, kurang benar-benar di libatkannya publik dalam membincang, membentuk dan mewacanakan pendidikan nasional, gejala memperdagangkan sekolah melaui pergantian sistem pendidikan, dan tidak tepatnya terapi yang diberikan jika ada masalah.

Mencari Alternatif
Korupsi dana sekolah telah menciptakan sebuah situasi disorientasinya pendidikan nasional yaitu amburadulnya sitem pendidikan mulai dari tujuan, bahan/ materi, motode dan evaluasi pembelajaran dalam proses pendidikan peserta didik sebagai generasi mendatang sehingga menyebabkan pula diskontinuitas dalam proses pembangunan bangsa pada umumnya khususnya pembangunan bangsa ini kedepan.

Terganggunya pendidikan nasional akibat korupsi dana sekolah tidak hanya menimbulkan rusaknya pembangunan, tetapi sekaligus menimbulkan formasi wacana baru tentang sistem pendidikan nasional, misalnya wacana pengembangan aneka pendidikan alternatif seperti otonomisasi sekolah, pendidikan berbasis masyarakat lokal dan sebagainya. Sebenarnya apapun wacana pendidikan baru itu menuntut berbagai perubahan formasi wacana, baik pada tingakat relasi sosial, kekuasaan, institusi dan kejelasan semangat pengembangan pengetahuan pendidikan nasional melalui politik pendidikan baru.
Politik pendidikan baru akan menentukan kebijakan makro dan mikro tentang pendidikan di masa depan, apakah kebijakan bersifat sentralistik atau desentralisasi, elitis atau popular, berlogika pasar atau berbasis potensi dan hadap masalah anak didik?. Politik pendidikan masalalu yang korup, penuh tipuan, kepalsuan, dan sumulasi hendaknya dapat menjadi pelajaran dalam menyusun kembali pendidikan nasional yang didalamnya peserta didik dan orang tuanya tidak lagi menjadi obyek pasif tetapi menjadi subyek aktif dari aneka kebijakan baru pendidikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar